Pilkada Jakarta dalam Pusaran Etnis dan Agama
Posted by By Hasanuddin Ali at 30 December, at 18 : 41 PM Print
Jakarta sebagai kota paling metropolis menjadi titik temu berbagai golongan dan etnis di Indonesia, karena itu kalau dilihat secara etnis komposisi penduduk Jakarta sangat beragam. Hasil Sensus Penduduk yang dilakukan BPS tahun 2010 menunjukkan komposisi penduduk Jakarta berdasarkan etnis adalah etnis Jawa 36.64%, disusul oleh etnis Betawi 28.65%, Sunda 14.8%, Tionghoa 6,71%, dan sisanya etnis-etnis lainnya.
Hal ini menarik kalau kita kaitkan dengan konteks pertarungan di Pilkada Jakarta, bagaimana para kandidat memperebutkan suara pemilih yang multi etnis tadi. Pemetaan pemilih biasa dilakukan dalam kontestasi pemilu, pemetaan itu bisa berbasis nilai-nilai (values), ideology, perilaku pemilih, atau yang lebih mendasar berdasarkan geografi atau demografi seperti umur, jenis kelamin, agama, atau etnis.
Di Amerika yang memiliki sejarah tradisi demokrasi yang sangat panjang, analisis pengaruh etnis dan agama terhadap preferensi pemilih dalam memilih partai atau kandidat presiden banyak dilakukan. Pew Research Center, misalnya, dalam banyak kajiannya kita bisa menemukan pemilih kulit putih protestan di Amerika Serikat menjadi pendukung utama Partai Republik, sementara Partai Demokrat pemilihnya lebih beragam dari sisi etnis dan agama, termasuk didalamnya etnis hispanik dan pemilih kulit hitam.
Komposisi Penduduk Jakarta Berdasarkan Etnis dan Agama
Kembali soal Pilkada Jakarta, kita bisa melihat bukan hanya soal pemilih yang beragam, tapi kandidatnya pun latar belakang etnisnya juga beragam, Petahana Pak Basuki Tjahaja Purnama yang Tionghoa, Pak Anis Baswedan yang Arab, Mas Agus Yudhonyono yang Jawa, dan ada juga Ibu Sylvia yang Betawi. Tentu saja merupakan fenomena yang bagus terhadap demokrasi di Indonesia.
Apakah beragamnya kandidat etnis berpengaruh terhadap faktor pertimbangan pemilih dalam menentukan kandidat gubernur yang mereka pilih?. Temuan survei yang dilakukan Alvara Research Center biasanya memang menyebutkan bahwa persoalan etnis dan agama selalu menjadi pilihan buncit pemilih dalam menentukan siapa kandidat yang akan mereka pilih disetiap pemilu. Pemilih lebih mempertimbangkan soal kapabilitas dan kapasitas kandidat yang mereka pilih.
Pertanyaan berikutnya apakah boleh berkampanye menggunakan etnis dan agama sebagai dasarnya? Sebelum menjawab secara lugas, saya akan tunjukkan sebuah ilustrasi dulu. Kebetulan saya menghabiskan hidup saya di Surabaya dan lidah saya terbiasa makanan Surabaya, maka saya akan merasa lebih pas dan cocok kalau makan makanan yang berasal dari Surabaya. Tentu saya akan kurang cocok kalau makan makanan dari Yogyakarta, misalnya. Bukan karena saya tidak suka atau membenci makanan dari Yogyakarta, bukan, tapi memang lidah saya tidak terbiasa dengan makanan Yogyakarta tersebut. Pasti tidak semua orang seperti saya, pasti ada juga orang Surabaya yang lebih menyukai makanan Yogyakarta dibanding makanan Surabaya.
Kita tidak bisa menghindari kenyataan bahwa memang ada pemilih yang memilih karena ada kesamaan etnis dan agama. Sebagian teman-teman Tionghoa tentu saja lebih nyaman memilih Pak Basuki, sebaliknya mungkin sebagian teman-teman Islam mungkin lebih nyaman memilih Pak Anis, atau sebagian orang Jawa mungkin lebih nyaman memilih Mas Agus, dan seterusnya. Tapi perlu diingat preferensi memilih karena faktor etnis dan agama adalah preferensi paling “primitif” dalam pemilu.
Jadi silahkan kandidat atau pendukungnya berkampanye menggunakan etnis dan agama sebagai dasarnya, meskipun itu bukan satu-satunya jalan, misal kandidat muslim silahkan mengajak pemilih muslim untuk memilih dirinya. Yang tidak boleh anda lakukan menggunakan persoalan etnis dan agama untuk menyerang kandidat yang lain, Anda tidak boleh dilarang mengatakan “Jangan pilih kandidat yang lain karena dia kafir, atau “jangan pilih dia karena dia muslim”, dan seterusnya.
Sebagai penutup, pemilu bagaimanapun adalah kontestasi gagasan dan ide, jadi akan lebih cantik dan elegan apabila semua kandidat dan pendukungnya bertarung dalam wilayah itu, dan biarkan pemilih Jakarta ,mestinya termasuk pemilih rasional, menggunakan akal sehat dan hati nuraninya menentukan pilihannya.
Oleh:
Hasanuddin Ali
Founder and CEO Alvara Research Center